Perkembangan Cybercrime di Kawasan Asia Tenggara

Ilustrasi: Istimewa

Oleh: Nindya Ihza Wardha Habibah)*

Adanya kemajuan dan perkembangan teknologi memberikan banyak manfaat bagi umat manusia. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut juga menyebabkan dampak negatif. Di antaranya, aksi kejahatan tidak lagi hanya melalui penyerangan secara langsung. Melainkan dapat melalui penyerangan tidak langsung.

Penyerangan tidak langsung ini disebut sebagai ‘Cybercrime’. Cybercrime bukanlah hal yang dapat dianggap sepele oleh Negara. Sebab tindakan tersebut dapat berupa pencurian data, manipulasi data, atau bahkan pengaksesan sistem data secara ilegal yang menyebabkan ketidak amanan dunia maya.

Hal ini tentu menjadi tanggung jawab baru bagi negara atau bahkan organisasi-organisasi regional yang memiliki tujuan menjaga kestabilan kawasannya.

(Association of Southeast Nations (ASEAN) merupakan salah satu contoh organisasi regional yang masih memiliki prosentase kejahatan cybercrime tinggi. Adapun kasus seperti yang terjadi di Vietnam pada tahun 2010. Google melaporkan bahwa mereka telah mendeteksi adanya malware yang menargetkan pengguna komputer Vietnam.

Menurut penjelasan Google, malware tersebut dirasa tidak telalu canggih serta digunakan untuk mengintai puluhan ribu pengguna yang mengunduh software bahasa keyboard Vietnam. Malware tersebut juga meluncurkan serangan penolakan terhadap blog yang mengandung perbedaan pendapat politik, khususnya oposisi terhadap penambangan bauksit.

Aksi Cybercrime berikutnya juga terjadi pada tahun 2018. Di mana peneliti mengumumkan adanya peretas Tiongkok yang mencoba secara aktif memata-matai aktor politik di kedua sisi Pemilu Kamboja yang akan segera berlangsung. Sasarannya merupakan Komisi Pemilihan Nasional negara tersebut, beberapa Kementerian, Senat Kamboja, satu Anggota Parlemen, dan beberapa outlet media dan aktivis hak asasi manusia.

Singapura sebagai salah satu anggota ASEAN berada pada garis terdepan dalam mendukung peningkatan kemanan cyber. Perlu kita ketahui, upaya yang dilakukan oleh ASEAN seperti membentuk beberapa badan penanganan masalah cybercrime seperti ARF on cybersecurity initiatives yaitu ASEAN’s Cooperation on Cybersecurity and against Cybercime, ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Telecommunications Regulators Council (ATRC), ASEAN Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC), dan lainnya.

Namun perlu kita ketahui bahwa usaha yang dilakukan oleh ASEAN ini masih sebatas membentuk suatu badan penanganan saja, yang berarti belum ada tindakan lebih matang dari upaya tersebut. ASEAN masih dinilai kurang cakap dalam menangani kasus cybercrime, terlebih lagi di masa pandemic Covid-19.

Dari temuan di berbagai laman situs, masyarakat ASEAN berada pada jajaran pengguna aktif internet tertinggi di dunia. Hal ini menyebabkan perkembangan kasus cybercrime di masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020 mengalami peningkatan yang signifikan. Terlebih pada perubahan ritme dalam kehidupan yang dipaksa harus berjalan berdampingan dengan teknologi berbasis internet.

Mulai dari dunia pendidikan, politik, hingga perekonomian yang terus mendesak masyarakat untuk lebih akrab dengan kemajuan teknologi dan internet. Para pelaku kejahatan cybercrime menggunakan ketakutan masyarakat terhadap Covid-19 terlebih pada perawatan kesehatan menyerupai penyerangan yang menargetkan peralatan medis di beberapa negara tempat transformasi digital.

Diprediksi besarnya bahaya yang timbul akibat cybercrime khususnya pada saat New Normal 2022 ini, hendaknya diperlukan suatu strategi kerja sama secara optimal dalam hal peningkatan ketahanan cyber security di kawasan ASEAN. Peningkatan tersebut juga akan berdampak pada percepatan pemulihan segala aspek kehidupan yang bergantung pada dunia digital dapat lebih terjaga dan terlindungi.

Hal ini tentu menjadi sebuah kepentingan dari sebuah negara, terlebih yang tergabung dalam ASEAN. Mengingat kawasan tersebut didominasi oleh negara-negera berkembang yang memerlukan adanya strategi kerja sama keamanan untuk memastikan negara dan kawasannya memiliki kesiapan untuk menghadapi ancaman siber. Dengan adanya Cyber Diplomacy yang baik akan menjadi strategi yang harus dipenuhi untuk menjaga stabilitas kawasannya.

*) Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

WhatsApp99